https://kinganddukeatl.com

https://greenopportunities.org

https://www.bunzburgerz.com

https://www.depotbaltimore.com

https://eis.yru.ac.th/-/dragon222/

https://booking.yru.ac.th/-/rajagacor/

Tarif Cukai Terus Naik, Rokok Ilegal Makin Subur Ungkap Tim Peneliti UB Malang – Layar Indonesia

https://kinganddukeatl.com

https://greenopportunities.org

https://www.bunzburgerz.com

https://www.depotbaltimore.com

https://eis.yru.ac.th/-/dragon222/

https://booking.yru.ac.th/-/rajagacor/

Tarif Cukai Terus Naik, Rokok Ilegal Makin Subur Ungkap Tim Peneliti UB Malang

Tarif Cukai Terus Naik, Rokok Ilegal Makin Subur Ungkap Tim Peneliti UB Malang

Layarindonesia.com, Malang – Kenaikan tarif cukai dan harga rokok tidak berpengaruh pada penurunan jumlah perokok aktif di Indonesia. Bahkan, kenaikan tarif cukai justru membuat peredaran rokok ilegal makin subur. Padahal, rokok ilegal justru membuat negara tidak mendapat pajak cukai dan tembakau.

Tim Peneliti Pusat Kebijakan Ekonomi (PPKE) FEB Universitas Brawijaya yaitu Imanina Eka Dalilah dan Joko Budi Santoso mengungkapkan, kenaikan cukai demi mengurangi angka perokok dewasa hingga 32,3 sampai 32,4 persen. Serta diharapkan perokok anak-anak dan remaja turun menjadi 8,8 hingga 8,9 persen pada 2021.

Tahun ini Pemerintah melalui Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) 198/2020 menaikkan tarif cukai hingga 16 persen dan rata-rata tertimbang sebesar 12,5 persen yang berlaku sejak 1 Februari 2021. Tetapi faktanya kenaikan cukai rokok tidak menurunkan angka prokok dengan usia 15 tahun ke atas.

“Fakta menunjukkan bahwa selama lebih dari 10 tahun sejak tahun 2007, angka prevalensi merokok usia 15 tahun ke atas tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini menjadi indikasi bahwa kebijakan kenaikan cukai untuk menekan prevalensi merokok kurang efektif,” kata Imanina Eka, Kamis, (9/9/2021).

Joko Budi mengungkapkan, kenaikan tarif cukai dan harga rokok setiap tahun justru berdampak pada penurunan jumlah pabrik rokok. Kemudian, peredaran rokok ilegal lebih besar dibandingkan dengan penurunan jumlah perokok.

“Pada 2007, jumlah pabrikan rokok mencapai 4.793. Namun pada 2018 hanya tersisa 456 pabrikan rokok. Artinya, hanya kurang 10 persen saja dari jumlah pabrikan rokok di tahun 2007 yang mampu bertahan sampai saat ini,” ujar Joko.

Joko mengatakan, disisi lain volume produksi IHT (Industri Hasil Tembakau) terus menunjukkan trend penurunan dan juga penurunan pertumbuhan produksi. Sesuai Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2020) sejak 2014, volume produksi IHT terus mengalami penurunan.

Pada 2020, IHT mengalami penurunan volume produksi rokok terbesar dalam delapan tahun terakhir, yakni hingga minus 11 persen. Padahal IHT adalah industri padat karya, di mana dalam keberlangsungan operasional melibatkan banyak pekerja.

“IHT mampu menyerap tenaga kerja sekitar 6 juta tenaga kerja. IHT juga memiliki linkage yang besar pada penyerapan tenaga kerja di sektor lainnya, yaitu sebanyak 2,9 juta pedagang eceran, 150 ribu buruh pabrik rokok, 60 ribu karyawan pabrik, 1,6 juta petani cengkeh dan 2,3 juta petani tembakau. Di samping itu, IHT merupakan salah satu industri asli Indonesia yang masih bertahan dengan kandungan lokal konten yang tinggi. Namun, Urgensi eksistensi IHT mendapat tantangan cukup besar dari sisi isu kesehatan, kebijakan tarif, dan peredaran rokok ilegal,” papar Joko.

Joko mengungkapkan, IHT memiliki peran strategis dalam perekonomian yang ditunjukkan dengan kontribusinya terhadap penerimaan negara yang mencapai 11 persen dari total penerimaan pajak. Meski demikian, tarif CHT tak bisa secara parsial hanya dilihat sebagai komponen penerimaan negara saja tanpa memperhatikan keberlangsungan industrinya.

PPKE FEB-UB berusaha mengkaji secara komprehensif terkait isu-isu tersebut secara berkelanjutan. Kajian saat ini fokus pada analisis kebijakan cukai terhadap keberlangsungan IHT. Hasil penelitian pola perilaku konsumen produk IHT menunjukkan bahwa faktor dominan penyebab seseorang memutuskan untuk mengkonsumsi rokok di usia dewasa diantaranya kebiasaan, pengaruh teman atau lingkungan sekitar rumah dan stres.

“Sedang kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok. Sebab kenaikan harga rokok bukanlah faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan berhenti merokok. Bukan pula faktor harga. Kenaikan harga rokok akan menyebabkan perokok mencari alternatif rokok dengan harga yang lebih murah atau terjangkau, salah satu alternatifnya adalah rokok ilegal,” tandas Joko. (brj)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *